Mengambil arah baru memang adalah pilihan yang harus dipikir matang-matang untuk setiap musisi. Terutama, apabila sudah menghasilkan sejumlah album dengan signature sound yang familiar di hati dan telinga para fans, maka arah musikalitas yang baru tentu harus dihadapi dengan persiapan dan antisipasi akan dua reaksi antipoda yang jauh berlawanan - mendapat pujian yang sensasional, atau justru kehilangan fans. Its a tough decision, but then again, musicians as artists shouldn't offer the same old materials over and over again, right?
Tiga album pertama Coldplay - Parachutes (2000), A Rush of Blood to the Head (2002), dan X&Y (2005) - telah berhasil mengangkat mereka menjadi salah satu Alternative British Band terbaik di dekade ini. Awal karakter musik mereka yang mengalir bagai arus sungai yang tenang namun mampu membuat air mata tak tahan bercucuran memang merupakan 'komoditi' yang hangat untuk pendengar musik umum yang mayoritasnya adalah pecundang-pencundang galau yang gemar mendengarkan musik melankolik. (red: oops, terlalu kasar kah?)
But that's what we love about Coldplay! Lagu-lagu mereka sangat sederhana dengan bumbu sedikit artsy-fartsy yang mudah dicerna. Namun setelah sering mendapatkan ulasan dari berbagai music reviewer yang ternama, Coldplay pun mungkin mulai menyadari bahwa musik mereka sebetulnya sangat boring.
We personally agree, karena setelah belasan kali diputar di radio, memang komposisi musik lagu Coldplay kurang mempunyai progresi yang dinamis... dalam kata lain, monoton.
Maka dengan itu, dalam album ke-empat Viva la Vida or Death and All His Friends (2008), Coldplay memutuskan untuk mengubah arah musik mereka dengan sejumlah karya-karya yang lebih up-tempo dengan berbagai pengaruh genre seperti latin, eletronik, dan lain-lainnya. In general, albumnya cukup mengesankan dan diterima dengan baik oleh para fans, namun walau cukup berbeda dengan album-album sebelumnya, Viva la Vida or Death and All His Friends tidak sesuai dengan apa yang mereka sebut sebagai sebuah album konsep 'revolusi'. It's still boring. Album ini justru terkesan seperti ingin mengikuti jejak band-band ternama seperti U2 atau Radiohead namun tidak mampu.
Di pertengahan Oktober 2011 ini, Coldplay kembali merilis sebuah album konsep berjudul MYLO XYLOTO. Album yang bantu digarap oleh seorang produser legendaris Brian Eno ini lebih condong ke arah industrial rock yang kental dengan unsur eletronika. Dalam album ini, Coldplay menyuguhkan musik dengan chorus dan tekstur yang lebih megah serta optimistis; sebuah perpaduan refleksi diri yang tulus dan kenikmatan estetis yang cukup kompleks. Sekilas album ini memang memberi kesan sebagai karya yang lebih artistik, namun sayangnya visi artistik mereka tidak terlalu terdengar original selain dari suara sang vokalis Chris Martin yang otentik dan mempunyai ciri khas yang sangat merdu di telinga.
Dari identitas sebagai sebuah band alternative yang cukup unik, dengan MYLO XYLOTO ini Coldplay justru dengan sengaja memilih untuk menjadi sebuah mediocre pop band yang terlalu berusaha untuk menyuguhkan sebuah anthem positif tentang kehidupan.
It seems they
are trying too
hard to be U2.
Perhatikan saja progresi chord dan ciri riff-riff guitar yang mereka implementasi dalam setiap lagu... tidak jauh berbeda dengan ciri khas permainan The Edge sang gitaris U2. Pengecualian adalah lagu pertama 'Hurts Like Heaven' yang bernuansa dance-pop anthem.
Genre electronic dan dance memang tengah hangat di pasar musik kini hingga mempengaruhi tekstur genre-genre lain dari rock sampai hiphop. Namun, kalau Coldplay sampai terpengaruh juga, apakah bisa dibenarkan bahwa album ini adalah usaha mereka untuk menjadi lebih kreatif dan artsy? We think not.
Kalau untuk kolaborasi Coldplay dengan Rihanna dalam lagu 'Princess of China' dapat dibilang adalah sebuah perpaduan yang cukup unik, tapi keseksian suara Rihanna tidak cukup untuk menyebut lagu ini sebagai sebuah lagu hits yang unik, karena lagu ini terlalu mainstream pop untuk Coldplay.
Sejauh ini, memang terkesan ulasan gue benar-benar menjatuhkan album ini sebagai kegagalan, namun jujur saja, Xylo Myloto does have an interesting appeal to it. Dalam menciptakan sebuah lagu, Coldplay memang mempunyai bakat dengan 'hook' lagu, terutama dalam menciptakan reff yang sangat catchy untuk di nyanyikan ramai-ramai. Contohnya adalah lagu 'Paradise' dengan chorus "Para-Para-Paradise" yang dijamin pasti akan menempel di otak berhari-hari.
Dengan singkat, menurut gue Xylo Myloto adalah sebuah album yang mempunyai daya tarik yang menyihir. Konsepnya tidak menggebrak seperti yang dibesar-besarkan dan tidak bisa dibilang sebagai suatu karya yang original, but its impossible to completely say we hate this album. Itulah kejeniusan Coldplay.
Label: Home, Music News, Music Reviews, New Albums